Senin, 22 Desember 2008

Sebuah Pelajaran Tentang Seni Memberi

sebuah Cerita : Mulia Kuruseng ibu dari 15 anak

Ketika suaminya wafat disaat anak terkecil, anak kelima belas, baru berusia tiga tahun. Satu hal yang Mulia Kuruseng ingat, janji mereka untuk terus menyekolahkan anak-anak. Nampaknya itulah salah satu seni memberi, dari sekian banyak seni memberi yang ia tumpahkan untuk anak-anaknya. Kelima belas anaknya kini sudah mentas. Dan jika ukurannya adalah gelar akademik, anak-anaknya sudah berhasil diantarkan menggapai professor, doctor, master,insinsyur dan letnan. Rumahnya di jalan matahari, pare-pare, sulawesi selatan, kini hanya ia tinggali bersama seorang anak asuh. Sendirian membesarkan lima belas anak, termasuk membangun minat untuk khatam Al-Quran berkali-kali. Sejak kanak-kanak, mulai adalah potret keikhlasan seorang ibu. Setiap hari, doa saya adalah untuk anak-anak, ujarnya.

Saat menikah di tahun 1996 lalu, Mulia Kuruseng muda, yang masih sekolah di bangku SMP, bertekad akan melanjutkan pendidikan. Keinginan itu, yang didukung orang tuanya karena Mulia anak tertua, dan diamini suami serta mertuanya, ternyata hanya dapat dilakoni sebentar. Sewaktu ia akhirnya hamil, Mulia memutuskan menyudahi sekolah, tanpa mengikuti ujian kelulusan SMP. Berturut-turut, hanya berjarak satu hingga dua tahun, Mulia melahirkan lima belas anak, sepuluh di antaranya laki-laki dan lima perempuan.

Sejak awal menikah, cita-cita terbesar adalah anak-anak harus bisa sekolah. “Suami bilang, kamu tidak sekolah karena kawin. Saya tidak sekolah karena membantu orang tua. Tapi anak-anak kita harus sekolah terus,” kenang Mulia. Ia menambahkan, “mungkin karena kami sekolahnya tidak ada yang selesai, akhirnya tersalurkanya pada anak-anak.” Kata Mulia, yang kerap dibicarakan suaminya adalah, “pendidikan dan pendidikan anak-anak.”

Meski sekolah terhenti, namun perjalanan selanjutnya barangkali juga perjalanan belajar maha luas. Apalagi setelah Mulia menjadi ibu tunggal, sepeninggal suaminya yang wafat 22 tahun lalu. Ketika itu, Kurnia Gunadi, anak terkecil, baru berusia tiga tahun. Sedang anak pertama mereka, Hasmi, masih kuliah. Hanya anak kedua, Suryani, yang sudah lulus S-1.sepeninggal suami, di tengah rasa kehilangan yang pekat, Mulia langsung teringat cita-cita mereka : pendidikan anak-anak jangan sampai terhenti. “itu cita-cita yang saya pegang terus,” ungkap Mulia.

“setelah suami meninggal, saya jadi ibu dan bapak, mengurus anak-anak semuanya. Saya tidak mengeluh, pokoknya maju saja. Saya tidak capek, malah waktu yang ada rasanya kurang belum selesai urusan, sudah datang malam. Sebelum shubuh saya harus sudah bangun. Habis shalat, langsung urus anak-anak untuk sekolah, pakaiannya, tasnya, makannya, apalagi ada tiga anak yang jarak umurnya sang dekat, perhatian sama mereka harus sama. Kalau tidak nanti mereka iri, dan tidak gembira ke sekolah. Kalau saya terlambat bangun , semua pekerjaan tidak bisa diurus,. Jadi saya tidak boleh terlambat, ” Mulia mengenang masa lalunya.
Perubahan mau tidak mau harus dilakukan. Kalau semasa suaminya masih ada, anak-anak diberikan uang jajan dua kali dalam sehari, setelah itu Mulia hanya memberikan sekali dalam sehari. “dulu waktu ada bapaknya mau apa-apa langsung dikabulkan. Ada uang pagi dan sore untuk jajan. Setelah bapaknya tidak ada, terpaksa uang pagi saja. Anak saya Tanya ‘kok berbeda dengan bapak?’ saya berikan pengertian,”sabar nak, Bapak kan sudah tidak ada…,”kenang Mulia.”semua anak-anak dikasih pengertian begitu, supaya sabar….
Lima belas anaknya umumnya cemerlang dalam pendidikan di SD, SMP dan SMA. Keberhasilan itu berlanjut hingga mereka kuliah dan sebagian melanjutkan ke jenjang S-3 Prof.Dr.Suryani misalnya, sejak di SD seringkali meraih rangking pertama. Di SMP pun demikian. Berbagai penghargaan siswa berprestasi disabetnya. Lulus SMP., gurunya datang ke rumah, untuk menganjurkan agar suryani dimasukkan sekolah favorit di ujung Pandang.” Kata gurunya, kasihan, anak ini nilainya bagus sekali, sebaiknya disekolahkan di SMA 1 di ujung Pandang.” Saat itu, Hasmi, kakak suryani, sudah pula bersekolah di SMA sama. Mereka pun tinggal bersama di rumah tantenya di Ujung Pandang, yang memang tak pernah sepi dari anak-anak yang menumpang selama bersekolah.
Kenangan Mulia pada suaminya tak jauh berbeda, “semua dilakukan Bapak buat anak-anaknya.” Hal sama yang sebenarnya juga Mulia lakukan. Maka mengalirlah kisah pemberian, dan hanya pemberian, dari orang tua untuk anak-anaknya.
“pesan saya satu, di rumah pakai bahasa rumah. Jangan kasih masuk bahasa anak muda di luar untuk di rumah. Mengenai belajarnya, Cuma kami kasih bersaing. Yang dapat rangking selalu dikasih hadiah. Juara satu, lebih bagus hadiahnya. Di jaman bapaknya dulu, hadiahnya bagus-bagus. Misalnya juara satu dapat sepeda. Setelah bapaknya tiada, hadiahnya lebih murah, tapi tetap, kalau dapat rangking dikasih hadiah. Juara pertama hadiahnya lebih bagus, meski jauh lebih murah. Ternyata anak-anak tetap semangat.”tutur Mulia.
Dalam satu rumah ada lima belas anak, dapat dibayangkan bagaimana rumah selalu berantakan. Memang itu yang terjadi. Tapi alih-alih melarang, Mulia justru tidak mempermasalahkan.”anak-anak tidak ada larangan di rumah. Rumah berantakan, tidak dimarahi. Kami memilih rumah berantakan, tapi anak-anak main dan belajar dirumah, daripada main di luar. Apalagi untuk anak perempuan. Jadi teman mereka lah yang biasa main di rumah sampai sore. Itu kami lebih senang.”
Mulia merasa tidak teramat pusing dengan pengaturan anak-anak.karena “kalau anak yang lebih besar selesai dengan urusanya, ia membantu adiknya, begitu terus. Jadi tidak terlalu pusing saya. Itu dari kesadaran anak sendiri. Tidak bisa kita suruh-suruh. Mereka lihat adiknya butuh apa mereka Bantu. Memang waktu mereka masih kecil-kecil, saya sendiri turun tangan. Alhamdullillah, petunjuk Allah bisa berjalan baik. Bahkan kakak ipar pernah bilang, dia lebih senang diam di rumah dengan lima belas anaknya ini, daripada di rumah kerabatnya yang hanya punya dua anak. Mungkin karena anak-anak tidak sering berkelahi.”
Apa resepnya supaya anak-anak tidak sering bentrok, apalagi jumlah mereka sungguh tidak sedikit? “kami tidak pernah ada kekerasan di rumah. Marah sangat jarang, paling yang untuk kebaikan saja. Bahasa-bahasa kasar, makian, tdak ada. Anak-anak tidak pernah melihat orang tuanya ribut. Kami suami istri tidak pernah saling bentak. Jadi anak-anak meniru. Biar bagaimana, kalau orang tua keras pasti anaknya juga keras. Anak-anak itu kan belajar dari keadaan sehari-hari.”
Mulia juga mengajarkan kemandirian.”ketika bapak wafat, saya punya tekad terus menyekolahkan anak-anak. Tidak ada yang saya pilih-pilih. Yang mau sekolah, teruskan sekolah. Tapi saya punya prinsip tidak boleh dibantu mendaftar, selulus SD, mereka mendaftar sendiri. Saya tidak pernah ke sekolah kecuali kalau ada rapat.”
Kelima belas anaknya umumnya tidak perlu dibujuk untuk belajar. Namun ada pengalaman unik terkait proses belajar itu, dan Mulia selalu tertawa mengingatnya. Misalnya, tentang si bungsu yang selalu menangis kalau mendapat rangking satu di SD.”Rapornya dilempar. Dia tidak mau rangking satu. Maunya rangking banyak. Rangking satu buat di kok sedikit sekali, Cuma satu,”tutur Mulia tertawa. Hingga kelas enam SD, si bungsu selalu menangis tiap mendapat rangking satu. Repotnya, dia selalu rangking satu. Mulia pun menyusun taktik, meminta tolong guru untuk membuatkan dua rapor. Satu rapor berisi nilai dan rangking yang benar. Satu lagi khusus untuk dilihat anaknya, yang tidak mencantumkan rangking.
Anak-anak kalau ingin meraih sesuatu, merka berusaha keras supaya berhasil. Tidak ada yang disuruh, semua punya cita-cita sendiri. Saat mereka belajar, saya tidak banyak membantu, bagaimana, kan saya hanya lulus SD. Tapi saya hanya mendorong saja,” kata Mulia tersenyum. “biasanya kalau tidak mengerti, mereka Tanya kakaknya. Dan saya biasakan, kalau belajar sambil hatinya senang. Buku-buku berantakan, mainan berantakan sambil belajar main bekel, yang penting belajar dengan suasana senang. Belajar di ruang tamu, di tempat tidur, di manapun di rumah boleh,”tutur Mulia, yang kerap merapikan rumah kalau ia bangun di tengah malam, namun esoknya rumah sudah berantakan lagi. Begitu juga kalau anak-anak pergi sekolah, ia segera merapikan rumah. Tapi ketika mereka pulang, rumah pun berarantakan kembali.
“memang kita harus ikhlas. Modalnya itu. Kalau tidak ikhlas, sulit, kalau kita marah-marah, lantas anak-anak juga marah, kita juga tidakk enak. Saya sih bersyukur saja, karena anak-anak sudah sadar bahwa tidak punya Bapak, dan mereka mau belajar,”ujar Mulia.
Mulia berujar bahwa ia kerap menenangkan diri ketika shalat,”shalat saja resepnya. Kalau sedih, saya tidak ke mana-mana, shalat saja di rumah. Dan bagi saya, membesarkan anak-anak harus ikhlas, tidak boleh kalau ada sesuatu, diomongi lagi, kan anak-anak jengkel. Kita juga harus jujur. Misalnya anak minta sesuatu, kalau bilang tidak ada, memang tidak ada, jangan ketika anak merengek, ternyata kita punya dan kita kasih. Itu sama saja memberi pendidikan tidak jujur pada mereka.”
Mulia menceritakan, prinsipnya dalam mendidik anak-anak ada tiga hal, ihklas, jujur dan sabar.” “Kejujuran saya tanamkan sejak kecil, ini turunan dari kakeknya. Kami dulu dididik untuk selalu jujur. Jika ada makanan di meja, tidak ada yang langsung mau makan, harus dibagi dulu. Jika ada uang di meja, mereka berteriak mencari siapa yang punya. Jadi dirumah tidak pernah terjadi kehilangan uang.”
Mulia kerap ditanya, apa yang diberikan untuk lauk anak-anaknya karena orang melihat mereka berprestasi di sekolah.”saya bilang dikasih makan kangkung sama ikan teri yang kecil-kecil itu, kan banyak zat kapurnya. Padahal saya mau bilang, jangan dikasih makanan yang haram, itu kuncinya.”
Sejak kecil, anak-anak juga air biasakan untuk belajar mengaji. Apalagi ia bertetangga dengan Abdul Pa’baja, ulama besar di Pare-Pare.”beliau membantu menanamkan nilai-nilai agama pada anak-anak. Seiring SD dan SMP, mereka pun masuk Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Pagi sekolah umum, pulangnya sekolah agama. Habis maghrib mereka mengaji Qur’an dirumah. Tapi tidak dipaksa, itu maunya mereka juga. Saya Cuma memberi semangat. Karena kalau terpaksa, nanti ada kita dikerjakan, tidak ada kita tidak dikerjakan,”cerita Mulia.
Mulia punya resep untuk menumpahkan semuanya saat shalat “setiap habis shalat, saya pun berdoa untuk keselamatan, kesuksesan anak-anak dunia akhirat,”katanya sambil tersenyum.”alhamdulillah, saya terharu dan bersyukur terus. Misalnya anak-anak dapat rangking, saya jadi tambah semangat. Selesai satu sekolahnya, saya bersukur. Kalau anak yang kuliah S-1, S-2, diluar kota sudah selesai, saya datang ke sana. Itu janji saya insya Allah, akan datang kalau ada yang diwisuda.Cuma hadiahnya, pergi lihat wisuda mereka. Kecuali yang diluar negeri, saya tidak datangi,” kata Mulia, yang biasanya ditemani Suryani kalau menghadiri wisuda anaknya.
Rumah Mulia berada di Jalan matahari di Pare-Pare, nampak kursi yang dibelikan suaminya masih stand by diruang tamu. Rumah tiga tingkat yang di diaminya sangat sejuk, seperti layaknya rumah tempo doeleo. Suminya sengaja membangun rumah tiga tingkat, agar anak-anak bisa belajar dan bermain pula di lantai atas. Pada salah satu dingding ruangan, nampak deretan foto lima belas anaknya (Anak pertama, Dr Hasmi As’ad (49), alumnus fakultas Kedokteran Unhas,Asisten manajer Kesehatan PT Pertamina Perkapalan, anak kedua, Prof. DR. dr. Suryani As’ad,MSc, SpGK (47),Profesor muda di fakultas Kedokteran Unhas. Anak ketiga, Dr.Indriyati As’ad MM (45), Dokter umum dibontang, Kalimantan Timur, meraih master dari universitas mulawarman, samarinda. Anak keempat, Dr.Imran As’ad SpD (43), dokter spesialis penyakit dalam, alumnus Unhas, bertugas di luwuk. Anak kelima, Ir. Siswana As’ad (41), bekerja di makassar. Anak keenam Ir. Solihin As’ad Mt (40) lulusan S3 tehnik di Austria. anak ketujuh, Wahidin As’ad (38) drop out fakultas ekonomi Unhas pengusaha dimakassar anak kedelapan, Ir Suriasni As’ad (36) arsitek dari Unhas kini menjadi kontraktor, anak kesembilan, Ir. Nurrahman As’ad, MT (35) tahun alumnus ITB dosen Unisba, anak kesepuluh Ir Rahmad Hidayat, MS (34) master dari ITB, kini sedang menempuh studi dokter di jepang, anak kesebelas, Ir Jabbar ali As’ad (32) dosen STT baramuli, Pinrang, anak kesebelas, Munir Wahyudi SE, AK, MM (30), magister Unpad bandung bekerja di depkes, anak ketiga belas, Ir. Muhammad Arif as’ad, MM (28), alumnus fakultas tehnik UGM, mengambil S-2 di UGM kini bekerja di Indika Entertainment Jakarta, keempat belas, Sumarni Aryani As’ad SKed (26) alumnus fakultas kedokteran Unhas, anak terakhir Letda Kurnia Gunadi (24) alumnus akademi angkatan laut Surabaya)
Tentang resep untuk tidak gampang patah, Mulia berujar,”Pokoknya saya jalan saja kedepan. Maju terus. Tidak pernah melihat ke belakang. Jalan terus, yang sudah–sudah tidak dipikir lagi. Saya rasanya tidak pernah menyesal. Sudah digariskan jalan hidup ini, saya terima, saya syukuri. Pokoknya berbuat untuk anak-anak secara ikhlas. Dan tidak pernah berpikir apa balasannya untuk kita.”
Begitulah seni memberi yang dilakukan Mulia Kuruseng untuk anak-anaknya. Kekuatanya pada ketulusanya. Kekokohannya pada keikhalasannya. Seperti doa abadi dalam Al-Quran, yang mengajarkan kita untuk memohon agar diberi keturunan yang bisa menyejukkan pandangan, nampaknya Mulia Kuruseng telah merasakan kesejukan itu. Anak-anaknya adalah mutiara hidupnya.

Wasilah
Dikutip dari Majalah Tarbawi Edisi Khusus : Perempuan-perempuan mozaik cinta ketulusan dan pengorbanan.